LAPORAN PENDAHULUAN
STASE KEBUTUHAN DASAR MANUSIA
GANGGUAN OKSIGENASI
PADA PASIEN OBSTRUKSI DIPSNEU
DI RUANG KENANGA RSUD GOETHENG TARUNADIBRATA
PURBALINGGA
Oleh:
Ribut Budi P.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM PROFESI NERS
2012
A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Oksigen (O2)
merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses
metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh.
Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup udara ruangan
dalam setiap kali bernafas.
Penyampaian O2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi sistem respirasi, kardiovaskuler dan keadaan hematologis. Adanya kekurangan O2 ditandai
dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan
kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan. Klien dalam situasi
demikian mengharapkan kompetensi perawat dalaam mengenal keadaan
hipoksemia dengan segera untuk mengatasi masalah.
Pemberian terapi O2 dalam asuhan keperawatan, memerlukan dasar pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya O2 dari
atmosfir hingga sampai ke tingkat sel melalui alveoli paru dalam proses
respirasi. Berdasarkan hal tersebut maka perawat harus memahami
indikasi pemberian O2, metode pemberian O2 dan bahaya-bahaya pemberian O2.
2. Tujuan
Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat :
a. Melakukan pengkajian pada pasien dengan gangguan oksigenasi
b. Menetapkan diagnosa keperawatan pasien dengan gangguan oksigenasi
c. Melakukan intervensi keperawatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan oksigenasi
d. Melakukan evaluasi kemampuan pasien dalam pemenuhan kebutuhan oksigenasi
e. Mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan
II. TINJAUAN TEORI
1. Pengertian Terapi Oksigenasi
Oksigenasi
merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses
metabolisme untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel-sel tubuh.
Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup O2 setiap kali
bernapas. Masuknya oksigen ke jaringan tubuh ditentukan oleh sistem
respirasi kardiovaskuler dan keadaan hematologi (Wartonah & Tarwoto
2003).
Terapi
oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan oksigen di atmosfer. Konsentrasi oksigen dalam udara
ruangan adalah 21%. Tujuan terapi oksigen adalah memberikan transport
oksigen yang adekuat dalam darah sambil menurunkan upaya bernafas dan
mengurangi stres pada miokardium ( Mutaqqin, 2005 )
Tujuan terapi oksigenasi :
1. Mengembalikan PO2 arterial pada batas normal.
2. Mengoreksi kondisi hipoksia dan oksigenasi dapat diberikan secara adekuat.
3. Mengembalikan frekuensi pernapasan dalam batas normal.
2. Etiologi
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan klien mengalami gangguan oksigenasi menurut NANDA (2011),yaitu
hiperventilasi, hipoventilasi, deformitas tulang dan dinding dada,
nyeri,cemas, penurunan energy,/kelelahan, kerusakan neuromuscular,
kerusakan muskoloskeletal, kerusakan kognitif / persepsi, obesitas,
posisi tubuh, imaturitas neurologis kelelahan otot pernafasan dan adanya
perubahan membrane kapiler-alveoli.
3. Faktor predisposisi
Faktor presipitasi atau pencetus dari adanya gangguan oksigenasi yaitu :
1. Gangguan
jantung, meliputi : ketidakseimbangan jantung meliputi
ketidakseimbangan konduksi, kerusakan fungsi valvular, hipoksia miokard,
kondisi-kondisi kardiomiopati, dan hipoksia jaringan perifer.
3. Kapasitas darah untuk membawa oksigen.
4. Faktor perkembangan. Pada
bayi premature berisiko terkena penyakit membrane hialin karena belum
matur dalam menghasilkan surfaktan. Bayi dan toddler berisiko mengalami
infeksi saluran pernafasan akut. Pada dewasa, mudah terpapar faktor
risiko kardiopulmoner. System pernafasan dan jantung mengalami perubahan
fungsi pada usia tua / lansia.
5. Perilaku atau gaya hidup.
Nutrisi mempengaruhi fungsi kardiopilmonar. Obesitas yang berat
menyebabkan penurunan ekspansi paru. Latihan fisik meningkatkan
aktivitas fisik metabolisme tubuh dan kebutuhan oksigen. Gaya hidup
perokok dikaitkan dengan sejumlah penyakit termasuk penyakit jantung,
PPOK, dan kanker paru (Potter&Perry, 2006).
4. Patofisiologi
Proses
pertukaran gas dipengaruhi oleh ventilasi, difusi dan trasportasi.
Proses ventilasi (proses penghantaran jumlah oksigen yang masuk dan
keluar dari dan ke paru-paru), apabila pada proses ini terdapat
obstruksi maka oksigen tidak dapat tersalur dengan baik dan sumbatan
tersebut akan direspon jalan nafas sebagai benda asing yang menimbulkan
pengeluaran mukus. Proses difusi (penyaluran oksigen dari alveoli ke
jaringan) yang terganggu akan menyebabkan ketidakefektifan pertukaran
gas. Selain kerusakan pada proses ventilasi, difusi, maka kerusakan pada
transportasi seperti perubahan volume sekuncup, afterload, preload, dan kontraktilitas miokard juga dapat mempengaruhi pertukaran gas (Brunner & Suddarth, 2002).
5. Tanda dan Gejala
Adanya
penurunan tekanan inspirasi/ ekspirasi menjadi tanda gangguan
oksigenasi. Penurunan ventilasi permenit, penggunaaan otot nafas
tambahan untuk bernafas, pernafasan nafas flaring (nafas cuping hidung),
dispnea, ortopnea, penyimpangan dada, nafas pendek, posisi tubuh
menunjukan posisi 3 poin, nafas dengan bibir, ekspirasi memanjang,
peningkatan diameter anterior-posterior, frekuensi nafas kurang,
penurunan kapasitas vital menjadi tanda dan gejala adanya pola nafas
yang tidak efektif sehingga menjadi gangguan oksigenasi (NANDA, 2011).
Beberapa
tanda dan gejala kerusakan pertukaran gas yaitu takikardi, hiperkapnea,
kelelahan, somnolen, iritabilitas, hipoksia, kebingungan, AGS abnormal,
sianosis, warna kulit abnormal (pucat, kehitam-hitaman), hipoksemia,
hiperkarbia, sakit kepala ketika bangun, abnormal frekuensi, irama dan
kedalaman nafas (NANDA, 2011).
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan oksigenasi yaitu:
a. EKG: menghasilkan rekaman grafik aktivitas listrik jantung, mendeteksi transmisi impuls dan posisi listrik jantung.
b. Pemeriksaan
stres latihan, digunakan untuk mengevaluasi respond jantung terhadap
stres fisik. Pemeriksaan ini memberikan informasi tentang respond
miokard terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan menentukan
keadekuatan aliran darah koroner.
c. Pemeriksaan untuk mengukur keadekuatan ventilasi dan oksigenasi ; pemeriksaan fungsi paru, analisis gas darah (AGD).
7.
Pathway
|
8. Indikasi Terapi Oksigen.
Muttaqin (2005) menyatakan bahwa indikasi utama pemberian terapi O2 sebagai berikut :
a. Klien dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah
b. Klien
dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap keadaan
hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya pernafasan serta adanya
kerja otot-otot tambahan pernafasan
c. Klien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
9. Metoda pemberian terapi oksigen
Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 teknik:
a. Sistem aliran rendah
Teknik
sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara
ruangan. Teknik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada
tipe pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem
aliran rendah ini ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih
mampu bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan
Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit
(Harahap, 2005).
Yang
termasuk dalam sistem aliran rendah yaitu kataeter nasal, kanula nasal,
sungkup muka sederhana, sungkup muka dengan kantong rebreathing,
sungkup muka dengan kantong non rebreathing.
a. Kateter nasal
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 1-6. Keuntungan pemberian O2 stabil,
klien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah dan nyaman serta dapat
juga dipakai sebagai kateter penghisap. Kerugian Tidak dapat memberikan
konsentrasi O2 lebih
dari 45%, tehnik memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula
nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput
lendir nasofaring, aliran lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri
sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat (Harahap, 2005).
gambar kateter nasal
b. Kanul nasal
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 1-6. Keuntungan Pemberian O2 stabil
dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul
dibanding kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah
ditolerir klien. Kerugian tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2 berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lender (Harahap, 2005).
Gambar kanul nasal
c. Sungkup muka sederhana
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 5-8. Keuntungan konsentrasi O2 yang
diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, system
humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang
besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol. Kerugian Tidak
dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah (Harahap, 2005).
Gambar sungkup muka sederhana
d. Sungkup muka dengan kantong rebreathing
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 8-12. Keuntungan Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan selaput lender. Kerugian Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat (Harahap, 2005).
e. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 8-12. Keuntungan konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak mengeringkan selaput lendir. Kerugian kantong O2 bisa terlipat (Harahap, 2005).
Gambar Sungkup muka dengan kantong non rebreathing
b. Sistem aliran tinggi
Suatu
teknik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh
tipe pernafasan, sehingga dengan teknik ini dapat menambahkan
konsentrasi O2 yang lebih tepat dan teratur. Adapun contoh teknik sistem
aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury. Prinsip pemberian O2
dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan menuju ke
sungkup kemudian dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tercipta
tekanan negatif, akibat udara luar dapat diisap dan aliran udara yang
dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini ± 4–14 L/mnt dan
konsentrasi 30 – 55% (Harahap, 2005).
Keuntungan
Konsentrasi
O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak
dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap FiO2, suhu dan kelembapan gas
dapat dikontrol serta tidak terjadi penumpukan CO2(Harahap, 2005).
Kerugian
Kerugian sistem ini hampir sama dengan sungkup muka yang lain pada aliran rendah.
10. Pengkajian
Hal-hal yang dapat dikaji pada gangguan oksigenasi adalah :
1. Pola manajemen kesehatan-persepsi kesehatan
Bagaimana
perilaku individu tersebut mengatasi masalah kesehatan , adanya faktor
risiko sehubungan dengan kesehatan yang berkaitan dengan oksigen.
2. Pola metabolik-nutrisi
Kebiasaan
diit buruk seperti obesitas akan mempengaruhi oksigenasi karena
ekspansi paru menjadi pendek. Klien yang kurang gizi, mengalami
kelemahan otot pernafasan.
3. Pola eliminasi
Perubahan pola defekasi (darah pada feses, nyeri saat devekasi), perubahan berkemih (perubahan warna, jumlah, ferkuensi)
4. Aktivitas-latihan
Adanya
kelemahan atau keletihan, aktivitas yang mempengaruhi kebutuhan
oksigenasi seseorang. Aktivitas berlebih dibutuhkan oksigen yang
banyak. Orang yang biasa olahraga, memiliki peningkatan aktivitas
metabolisme tubuh dan kebutuhan oksigen.
5. Pola istirahat-tidur
Adanya gangguan oksigenasi menyebabkan perubahan pola istirahat.
6. Pola persepsi-kognitif
Rasa
kecap lidah berfungsi atau tidak, gambaran indera pasien terganggu atau
tidak, penggunaaan alat bantu dalam penginderaan pasien.
7. Pola konsep diri-persepsi diri
Keadaan
social yang mempengaruhi oksigenasi seseorang (pekerjaan, situasi
keluarga, kelompok sosial), penilaian terhadap diri sendiri (gemuk/
kurus).
8. Pola hubungan dan peran
Kebiasaan berkumpul dengan orang-orang terdekat yang memiliki kebiasaan merokok sehingga mengganggu oksigenasi seseorang.
9. Pola reproduksi-seksual
Perilaku seksual setelah terjadi gangguan oksigenasi dikaji
10. Pola toleransi koping-stress
Adanya stress yang mempengaruhi ke oksigenasi.
11. Keyakinan dan nilai
Status ekonomi dan budaya yang mempengaruhi oksigenasi, adanya pantangan atau larangan minuman tertentu dalam agama pasien.
a. Riwayat Kesehatan
2) Keluhan utama: klien mengeluh sesak nafas, nyeri dada.
3) Riwayat penyakit sekarang: asma, CHF, AMI, ISPA.
4) Riwayat penyakit dahulu: pernah menderita asma, CHF, AMI, ISPA, batuk.
b. Pemeriksaan fisik
1) Kesadaran: kesadaran menurun
2) TTV: peningkatan frekuensi pernafasan, suhu tinggi
3) Head to toe
a) Mata:
Konjungtiva pucat (karena anemia), konjungtiva sianosis (karena
hipoksemia), konjungtiva terdapat petechie ( karena emboli atau
endokarditis)
b) Mulut dan bibir: Membran mukosa sianosis, bernafas dengan mengerutkan mulut
c) Hidung : Pernafasan dengan cuping hidung
d) Dada: Retraksi otot bantu nafas, pergerakan tidak simetris antara dada kanan dan kiri, suara nafas tidak normal.
e) Pola pernafasan: pernafasan normal (apneu), pernafasan cepat (tacypnea), pernafasan lambat (bradypnea)
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan memantau analisa gas darah arteri dan pemeriksaan diagnostik foto thorak, EKG
11. Diagnosa
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien dengan gangguan oksigenasi adalah:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Gangguan pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
12. Rencana asuhan keperawatan (kriteria hasil, intervensi, rasional)
DIAGNOSA
|
KRITERIA HASIL
|
TUJUAN
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Gangguan pertukaran gas
Ketidakefektifan pola nafas
|
Tidak ada batuk
Suara nafas tambahan
Perubahan frekuensi napas
Perubahan irama pernafasan
Sianosis
Kesulitan berbicara
Penurunan bunyi napas
Dispnea
Sputum dalam jumlah berlebihan
Batuk yang tidak efektif
Ortopnea
Gelisah
Mata terbuka lebar
Gas darah arteri normal
pH arteri normal
Pernafasan abnormal (kecepatan, irama dan kedalaman)
Warna kulit abnormal (pucat, kehitaman, kebiruan)
Diaphoresis
Sakit kepala saat bangun
Hipoksia
Hipoksemia
Nafas cuping hidung
Gelisah
Somnolen
Takikardi
Penggunaan otot bantu pernafasan
Pernafasan cuping hidung
Fase ekspirasi menamjang
Hiperventilasi
Ansietas
Ortopnea
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, kepatenan jalan nafas, dengan kriteria hasil:
a. Tidak mengalami demam (5)
b. Tidak mengalami kecemasan (5)
c. Tidak tersedak (5)
d. Memiliki RR dalam batas normal (4)
e. Memiliki irama pernafasan yang normal (4)
f. Mampu mengeluarkan sputum dari jalan nafas (4)
g. Bebas dari suara nafas tambahan (4)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, status respiratori: pertukaran gas dengan indikator:
1. Status mental dalam batas normal (5)
2. Dapat melakukan napas dalam (5)
3. Tidak terlihat sianosis (5)
4. Tidak mengalami somnolen (4)
5. PaO2 dalam rentang normal (4)
6. pH arteri normal (4)
7. ventilasi-perfusi dalam kondisi seimbang (4)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, status respirasi: ventilasi dengan indikator:
1. Respiratory Rate (5)
2. Ekspansi dinding dada simetris (5)
3. Mampu melakukan inspirasi dalam (5)
4. Tidak mengalami dispnea (5)
5. Tidak mengalami ortopnea (5)
6. Auskultasi bunyi nafas dalam rentang normal (5)
|
NIC: Airway suctioning
a. Tentukan kebutuhan suction oral dan atau trakheal
b. Auskultasi suara nafas sesudah dan sebelum melakukan suction
c. Informasikan kepada klien dan keluarga tentang suction
d. Gunakan universal precaution (maske, sarungtangan)
e. Pasang nasal kanul selama dilakukan suction
f. Monitor status oksigen pasien (tingkat SaO2 dan SvO2) dan status hemodinamik (tingkat MAP [mean arterial pressure] dan irama jantung) segera sebelum, selama dan setelah suction
g. Perhatikan tipe dan jumlah sekresi yang dikumpulkan
NIC: Airway management
a. Posisikan klien untuk memaksimalkan potensi ventilasinya.
b. Identifikasi kebutuhan klien akan insersi jalan nafas baik aktual maupun potensial.
c. Lakukan terapi fisik dada
d. Auskultasi suara nafas, tandai area penurunan atau hilangnya ventilasi dan adanya bunyi tambahan
e. Monitor status pernafasan dan oksigenasi, sesuai kebutuhan
NIC: Respiratory monitoring
a. Monitor rata-rata, irama, kedalaman dan usaha respirasi
b. Perhatikan pergerakan dada, amati kesemetrisan, penggunaan otot-otot aksesoris, dan retraksi otot supraklavikuler dan interkostal
c. Monitor pola pernafasan: bradipneu, takipneu, hiperventilasi, respirasiKussmaul, respirasi Cheyne-Stokes
d. Monitor peningkatan ketidakmampuan istirahat, kecemasan, dan haus udara, perhatikan perubahan pada SaO2, SvO2, CO2 akhir-tidal, dan nilai gas darah arteri (AGD), dengan tepat
e. Monitor kualitas dari nadi
f. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit.
|
a. Mengetahui perkembangan terapi oksigen dan kondisi klien
b. Mengetahui apakah masih terdapat sputum
c. Mengurangi kecemasa klien dan klrga trhadap tindakan
d. Mencegah penularan
e. Mengetahui perkembangan klien
f. Memantau jenis sputum yang dapat dijadikan untuk pemeriksaan klinis.
a. Untuk mempermudah pertukaran gas
b. Untuk memantau kondisi jalan nafas klien
c. Untuk mengeluarkan sputum
d. Memantau kondisi pernafasan klien
e. Memantau kondisi klien
a. Mengetahui usaha nafas klien
b. Klien dengan pola nafas tidak efektif akan mengalami pernafasan dengan bantuan otot pernafasan
c. Mengetahui kondisi pernafasan klien sekarang
d. Kondisi kecemasan akan memperparah kesulitan nafas klien karena akan semakin mengkontrisikan
e. Mengetahui perubahan kondisi klien dari nadi yang melemah semakin membaik dan dari suhu yang tinggi menjadi normal.
|
DAFTAR PUSTAKA
Brunner &Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta
Harahap. (2005). Oksigenasi Dalam Suatu Asuhan Keperawatan. Jurnal Keperwatan Rufaidah Sumatera Utara Volume 1
Muttaqin. (2005). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Pernafasan. Salemba Medika. Jakarta
Johnson, Meridian Maas, & Sue Moorhead. (2000). Nursing Outcame Clasification. Mosby. Philadelphia
McCloskey & Gloria M Bulechek. (1996). Nursing Intervention Clasification. Mosby. USA
Wartonah dan Tarwoto. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia & Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
No comments:
Post a Comment